Sabtu, 25 Februari 2012

Cerita dari Secangkir Kopi


Secangkir kopi hangat menemani pembicaran kami.      
Setelah berbasa-basi sebentar, ia mulai menanyakan kabarku.

Sebut saja namanya  Abang : gimana kabar kamu dek ?
Saya    : baik, bang..
Abang : cerita lah dek, apa saja yang kamu alami selama kita berpisah
Saya    : hmh,, nggak ada yang menarik, bang..
Abang : kamu salah, dek.. segala sesuatu tentangmu selalu menarik bagi abang
Saya    : (tersenyum, lalu menghirup kopi yang masih terasa hangat) mau cerita tentang apa bang ?
Abang : apapun dek, semuanya yang kamu alami..
Saya    : sebuah keputusan yang teramat sulit bang, untuk memutuskan bercerai darinya. Tapi terpaksa harus aku ambil dan menjalaninya karena aku ingin yang terbaik untuk anakku.
Abang : terbaik untukmu mungkin??
Saya    : (menggeleng) nggak bang, buat si kecil juga. Aku yakin, dia juga tersiksa ketika melihat orangtuanya selalu bertengkar
Abang : itulah dek, bedanya wanita jaman dulu dengan sekarang. Kalau dulu, menikah hanya untuk menyenangkan orangtua, atau bahkan kerabat. Jadi, apapun yang terjadi dalam pernikahan mereka, mereka berusaha untuk tetap mempertahankannya sekalipun itu terasa berat karena untuk bercerai mereka merasa malu, jaman dulu perceraian merupakan aib dan stigma janda sangat negative di masyarakat. Beda dengan sekarang, wanita sebagai istri juga menuntut dihargai oleh suaminya. Implikasinya, jika pernikahan tidak menjanjikan kebahagiaan, mereka tidak memiliki keharusan untuk mempertahankannya. Mungkin kelak, akan bergeser lagi, justru akan semakin takut untuk berkomitmen. Dengan alasan takut gagal, lalu memilih jalan lain misal : kumpul kebo.
Saya    : maaf bang, mutus pembicaraan. Tapi kalau dengan kumpul kebo sekian lama, setelah itu baru menikah, itu justru tidak ada atau menekan angka perceraian, kenapa nggak?
Abang : inget dek, agama manapun tidak akan membenarkan itu. Gimana juga dengan pendapat masyarakat ?
Saya    : orang lain tuh bisanya cuma komentar. Sementara yang menjalani kan kita, bang. Saat kita susah, apa mereka peduli? Dan di akherat pun, itu kan tanggung jawab kita masing-masing. Jadi, peduli apa dengan omongan mereka ?
Abang : minum dulu deh dek, kopi bisa membuatmu sedikit tenang. Adek bisa bilang gitu, karena mungkin apa yang kemarin kamu jalani, benar-benar membuat sakit ya? Emang sih, ketika apa yang kita lalui nggak seindah harapan, mimpi atau apapun lah, kita menjadi cenderung lebih enggan memikirkan lingkungan sekitar karena kita beranggapan, mereka pun nggak memikirkan kita. Tapi dek, kita hidup di Indonesia. Gimanapun, kita tetep harus ikuti adat sini.
Saya    : hmh…
Abang : abang yakin, kamu kuat dek. Itu yang aku kenal, sejak 4 tahun yang lalu. Abang sekarang harus pergi dek. Jaga dirimu baik-baik ya?
Saya    : makasih bang, untuk waktunya. Kalau udah sampai, kabari ya bang?
(pelukan perpisahan, lalu kecupan manis di bibir)
Abang : kalau adek masih sabar, abang pasti akan kembali lagi.
Saya    : ya bang. Liat aja nanti. (tersenyum)

Setelah dia pergi, aku kembali duduk. Hujan deras membuatku enggan pergi. Hanya ingin menanti, entah sampai kapan dan kepada siapa.


*Thanx for mr. C, inspirasi atas tulisan ini*


(Yogyakarta, 21 Januari, 2011)

2 komentar:

Dihas Enrico mengatakan...

cinta kadang emang berawal dari sesuatu yang sederhana...
:)secangkir kopi

wanita jawa mengatakan...

,,, dan aku berharap suatu saat nanti masih ada sisa cinta untukku dalam cangkir kopi yang lain.. :)

Posting Komentar