Rabu, 15 Februari 2012

tentang sebuah kisah kehidupan

AKU
Hujan masih turun dengan deras malam itu. Aku duduk termenung depan jendela Asrama, berharap malam ini Bunda datang menjemputku. Hampir 3 bulan aku nggak ketemu Bunda, nggak dipeluk Bunda, nggak lihat senyum Bunda, bermain bersama Bunda adalah hal yang paling menyenangkan untukku. Aku nggak peduli apapun kata orang tentang Bundaku. Karena bagiku, Bundaku terbaik.
Aku ingat, hari itu Selasa pagi, Bunda menitipkanku di Asrama ini. Kata Bunda, aku akan segera mendapatkan teman-teman baru, aku akan berada dalam pengawasan dan pengasuhan kakak-kakak pengasuh juga bapak dan ibu Asrama. Aku hanya mengangguk sekalipun aku tak sepenuhnya mengerti.
“Bunda mau kerja ? Bunda mau cari uang ? Biar bisa beli rumah yang ada AC, Laptop, Mobil trus aku bisa sekolah lagi ?” tanyaku pagi itu sesaat sebelum Bunda meninggalkan aku di Asrama.
Bunda menjawab lirih, “Iya, Nak, doakan Bunda ya..?” Kulihat ada airmata tertahan di sudut matanya.
“Iya, aku nggak akan nakal. Aku sayang Bunda..”
Lalu Bunda memeluk dan menciumiku sambil menangis. “Maafkan Bunda, Nak..”

BUNDA
Kilat menyambar langit Yogyakarta. Aku rindu anakku. Biasanya hujan seperti ini, dia selalu memintaku untuk memeluknya. Sekarang, siapa yang memeluknya. Dia pasti ketakutan, kedinginan.
Ada perasaan bersalah meninggalkannya di sebuah Asrama. Bukan sebuah keputusan yang mudah untuk kuambil. Aku harus mengurusnya sendiri, membiayai sekolah dan hidup kami. Untuk menyewa seseorang untuk membantuku mengawasinya, aku belum sanggup. Sejak aku berpisah dengan Ayah kandungnya, dan aku tak diberi kesempatan sedikitpun untuk melakukan pembelaan atas tuduhan Ayah kandungnya saat menceraikanku, aku tidak memiliki siapapun lagi. Semua kujalani hanya berdua dengan Jagoan kecilku saja.
Aku menghela nafas berat. Tiga bulan bukan waktu yang singkat bagi seorang Ibu yang berpisah dengan anak tunggalnya. Aku ingat permintaan dia waktu itu, “Bunda, aku pengen punya rumah yang ada AC nya, aku pengen Laptop, aku pengen punya Mobil, aku pengen sekolah di situ (dia menunjuk salah satu sekolah inklusi yang terletak pada sebuah perempatan utara Yogyakarta)”
Namun sebenarnya, yang kulakukan saat ini bukan hanya bertujuan untuk membelikan dia barang mewah itu. Aku hanya ingin memberikan dia sebuah tempat tinggal yang layak, kehidupan yang semestinya dia dapatkan, dan aku juga ingin menunjukkan kepada keluargaku bahwa aku bisa.
Petir menggelegar lagi. Jam menunjukkan angka 8 malam. Bergegas aku mengambil tas kuberlari kearah perhentian bis. Semoga masih ada bis.

AKU
Biasanya hujan seperti ini aku dipeluk Bunda. Andai Bunda mau datang malam ini, aku akan minta Bunda untuk membawaku pulang. Aku lebih membutuhkan Bunda daripada semua yang pernah kuminta pada Bunda.
Kuperhatikan dari balik kaca jendela Asrama yang tertutup rapat. Ada sebuah becak berhenti di depan Asrama. Kutajamkan penglihatanku.
“BUNDA..!!!” bergegas aku lari kearah pintu Asrama yang sudah dikunci.
Seorang kakak pengasuh mendekatiku, membukakan pintu untukku. Kulihat Bunda tersenyum namun Bunda menangis. Baju Bunda basah semua. Aku tak peduli, aku tak peduli, aku menghambur dalam pelukan Bunda. Pelukan terhangat yang pernah kurasakan.
“Aku kangen Bunda.. Bunda jangan pergi lagi.. Aku nggak mau disini, aku mau iku Bunda terus!!”
“Bunda belum bisa belikan adek rumah, laptop, mobil..”
“Aku mau ikut Bunda aja, buat apa punya itu semua tapi aku harus kehilangan pelukan Bunda? Aku kehilangan senyum Bunda? Aku boleh kan ikut Bunda lagi ?”
Bunda menciumiku. “Maafkan Bunda, Nak..”
Malam itu aku kembali terlelap dalam pelukan hangat Bundaku, mendengarkan dongengnya lagi sebelum aku terlelap, mendengar suaranya menyanyikan lagu kesukaanku. Tadi sebelum tidur, aku tak lupa berdoa, memohon pada Tuhan agar aku dan Bunda tak berpisah lagi.

BUNDA
Senang melihatnya terlelap di sebelahku lagi. Senyumannya membuatku merasa tenang. Bukan harta yang ia harapkan, namun kasih sayangku. Bunda nggak akan meninggalkan kamu lagi, Nak..



Yogyakarta, 24 Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar